Oleh: Dita Indah Sari Mulyanto*
“Dewan juri yang terhormat, saya sebagai tim pro meyakini bahwa pemberian hukuman berlipat bagi pelaku kejahatan terhadap kelompok minoritas harus dilakukan karena telah melakukan dua diskriminasi sekaligus. Pertama, diskriminasi behaviorial. Kedua, diskriminasi struktural.”
Sayup-sayup, suara adu argumen terdengar dari gawai Ainun Nafisa. Di sisi yang lain, I Gusti Bagus Parama atau yang biasa dipanggil Parama juga sangat serius mendengarkan argumen yang terdengar dari gawainya. Di rumah lainnya, Aliya Syukur juga sangat serius mendengarkan argumen milik lawan dan sesekali mengernyitkan dahi tanda ketidaksetujuan. Mereka bertiga adalah anggota Komunitas Debat SMA Negeri 2 Semarang (Kombat Smanda) yang masih aktif untuk melakukan latihan debat karena mengikuti lomba debat daring yang diselenggarakan BEM FISIP Universitas Riau. Ya, meskipun masih dalam masa pandemi, Ainun, Parama, dan Aliya tidak ingin terjebak dalam belenggu pandemi yang menutup prestasi. Walaupun sudah kelas XII, mereka bertiga tidak ingin kalah dengan anak Indonesia lainnya yang masih tetap belajar dan berprestasi, bahkan di tengah masa pandemi.
Seperti yang kita ketahui, per tanggal 17 April 2020, diperkirakan 91,3% atau sekitar 1,5 miliar siswa di seluruh dunia tidak dapat bersekolah karena munculnya pandemi Covid-19 (UNESCO, 2020). Dalam jumlah tersebut, termasuk di dalamnya kurang lebih 45 juta siswa di Indonesia atau sekitar 3% dari jumlah populasi siswa yang terkena dampak secara global (Badan Pusat Statistik, 2020). Namun, di tengah pandemi yang tak kunjung usai ini, Universitas Riau mengadakan lomba debat tingkat nasional pertama yang dilaksanakan secara daring. Hal ini tidak disia-siakan oleh anak-anak anggota Kombat Smanda yang tidak pernah lelah berjuang meraih prestasi.
“Ada kalanya kami latihan secara daring sampai pukul 22.00 dan sesekali kami rela pergi ke sekolah untuk berlatih bersama pembimbing, dengan seizin orang tua dan tetap mematuhi protokol kesehatan,” ucap Ainun saat menceritakan bagaiman proses latihan mereka.
Ainun, ketua Kombat Smanda yang sempat diwawancarai oleh penulis mengaku ia dan timnya hanya berlatih secara intensif selama tujuh hari sebelum lomba dilaksanakan. Ia juga mengatakan lomba debat secara daring ini sedikit lebih rumit jika dibanding lomba-lomba debat yang pernah ia ikuti sebelumnya. Terlebih, Aliya, rekan satu timnya yang saat itu tengah berada di Tegal, sehingga tidak memungkinkan untuk bertatap muka jika mereka berlatih di sekolah. Adapun Parama mengatakan, “Capek, mah,pasti. Latihan di sekolah, kadang juga daring, dari rumah masing-masing begitu. Evaluasi bisa sampai pukul 11 malam. Sempet nangis juga. Tapi seru, sih, dapat banyak pengalaman. Meski pandemi tetap harus produktif.”
Perlombaan debat dari Universitas Riau pun berjalan lancar. Menggunakan platform mixidea yang memang diperuntukkan untuk debat, pada akhirnya tim SMA Negeri 2 Semarang yang beranggotakan Parama, Ainun, dan Aliya berhasil meraih juara satu. Ungkapan syukur kepada Tuhan tak henti-hentinya diucapkan oleh ketiganya. Tak lupa pula ungkapan terimakasih yang ditujukan kepada Bapak Liliek Handoko dan Ibu Tri Handayani selaku pembina Kombat Smanda serta teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada mereka. Adapun Ainun juga berhasil meraih predikat overall best speaker, sedangkan Aliya mendapat predikat best speaker satu.
Parama yang melihat rekannya memenangkan piala tambahan sedangkan dirinya tidak, tidak membuat laki-laki tujuh belas tahun itu bersedih. Justru ia semakin bersemangat untuk mengikuti lomba debat lainnya.
Bersama Raihan dan Dhani, adik kelasnya, Parama memutuskan mengikuti lomba debat lainnya. Kali ini lomba debat tingkat Kota Semarang yang diadakan oleh Universitas Katholik Soegijapranata Semarang. Perjuangannya semakin berat karena lomba tersebut diadakan saat tahun ajaran baru telah dimulai. Jika di pagi hingga sore hari ketiganya mengikuti kegiatan belajar mengajar, maka malam hari digunakan mereka untuk berlatih secara daring. Sama seperti lomba sebelumnya, Parama dan timnya mulai berlatih secara intensif tujuh hari sebelum dilaksanakannya perlombaan.
Ketika diwawancarai oleh penulis, Raihan mengatakan bahwa persiapan lomba debat ini membuatnya tidur larut malam. “Awal-awal, sih, nggak papa. Tapi kadang nggak bisa bangun tepat waktu untuk mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ. Tugas juga sudah mulai banyak. Tapi kami akali dengan mengerjakannya waktu sore. Jadi malamnya bisa latihan debat,” katanya. Hal itu tidak mematahkan semangatnya. Ia justru bersyukur karena bisa menambah pengalaman dan mengasah kemampuan berbicaranya.
Di sisi lain, Parama yang sebelumnya telah menjuarai lomba debat yang diadakan Universitas Riau mengatakan bahwa dirinya tetap fokus pada latihan debat. “Kalau materi pelajaran, selama liburan itu aku udah ngedrill duluan. Belajar sendiri begitu. Jadi, ya, agak santai, nggak kaget. Tapi kalau kayak tugas yang biasanya kukerjain sendiri, ini kadang jadi lihat temen, hehehe,” akunya.
Pada saat hari perlombaan, Raihan mengatakan bahwa dirinya merasa gugup dan takut. Pasalnya, ada beberapa mosi debat yang belum dipersiapkan secara lengkap. Bahkan ia sempat hampir menangis setelah menyampaikan argumennya di sesi pertama. “Lawan pertama itu dari SMK 7. Waktu itu, setelah menyampaikan argumen, saya merasa penampilan saya kurang maksimal dari segi sanggahan maupun penyampaian. Jadi, saya langsung pesimis untuk lolos, apalagi lombanya pakai sistem gugur. Saya kayak sudah mau menangis, tapi waktu diberitahu tim yang lolos, ternyata tim kami yang lolos. Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi,” ujarnya.
Setelah berhasil mengalahkan SMK Negeri 7 Semarang, tim debat SMA Negeri 2 Semarang berhasil mengalahkan SMA Karangturi dan SMA Negeri 3 Semarang sehingga meraih juara pertama lomba debat yang diselenggarakan oleh Universitas Katholik Soegijapranata tersebut. Parama, Ainun, Aliya, Raihan, dan Dhani merupakan potret siswa yang tak pernah lelah berjuang untuk menorehkan prestasi, bahkan ketika dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini. Dengan tekad dan penuh semangat, mereka telah membanggakan sekolah serta orangtua mereka.
Pandemi bukan penghalang untuk berprestasi. Dengan modal kesungguhan hati, bukan tak mungkin mimpi akan terealisasi. Pandemi mengajarkan kami untuk tidak bermalas diri. Kami yakin setiap yang terjadi merupakan pembelajaran penuh arti.
*Penulis merupakan anggota Kombat Smanda dan siswa kelas XII IPS 2 SMAN 2 Semarang
Beri Komentar