Info Sekolah
Senin, 09 Des 2024
  • SMA Negeri 2 Semarang "Berbudaya"

Belajar Merdeka, Belajar Solidaritas

Diterbitkan : - Kategori : Info Umum

(Athenna Ratu Srengenge kelas X IPS 1)

Kamis (6/8/2020) siang sebuah pesan masuk di grup WA orang tua kelas X IPS 1 SMA Negeri 2 Semarang. Bukan pesan biasa, karena jam belum menunjukkan angka 12.00, berarti masih jam pelajaran daring.

“Bapak Ibu yang kami hormati,  ada sejumlah murid di sekolah kita yang terhambat mengikuti pembelajaran karena tidak memiliki HP. Telah ada upaya beberapa bapak ibu guru untuk membantu, tapi belum bisa mencukupi.  Karena itu, jika Bapak Ibu memiliki HP yang sudah tidak terpakai mohon kiranya dapat  dibantukan kepada kami untuk selanjutnya kami serahkan kepada para murid yang membutuhkan. Jika tidak ada waktu untuk mengirimkan, pihak sekolah bersedia mengambil ke rumah Bapak/Ibu, dengan memberikan alamat kepada kami (boleh secara japri). Terima kasih,  semoga Allah membalas kebaikan Ibu Bapak dengan berlipat kali kebaikan,” demikian pesan ini datang dari Fatma, wali kelas X IPS 1.

Grup WA itu langsung riuh. Para wali murid merespons baik ajakan tersebut. Rupanya mereka tersadar bahwa ada masalah bagi sebagian siswa sehingga tak bisa mengikuti pelajaran daring karena terhalang kuota internet.

“Nah, teman-teman, saran aja nih, gimana kalau kita donasi? Kasihan juga kan kalau mereka nggak bisa ikut pelajaran?” salah satu siswa merespon informasi di grup WA kelas mereka.

Hening sesaat.

“Aku nggak ikut pelajaran satu kali aja nyeselnya sampai ga bisa tidur. Kasihan mereka,” lanjut siswa tadi dalam obrolan di grup kelas.

Begitulah, sejak pandemi covid-19 anak-anak sekolah diwajibkan mengikuti pembelajaran dalam jaringan (daring). Tentu ini bukan tanpa masalah. Ada saja yang menjadi masalah, mulai dari keterbatasan kuota internet, hingga buruknya sinyal seluler di rumah para siswa.

Namun, ide dari wali kelas X IPS 1 ini seperti guyuran air yang menyejukkan. Anak-anak kelas X ini sejak pertama mendaftar SMA memang belum saling kenal. Jangankan kenal, bertemu saja mereka belum pernah.

Namun, kesulitan yang ada sepertinya mampu menyatukan sisi baik dari setiap siswa. Maka sejak itu, setiap kali ada masalah selalu dicarikan jalan keluar melalui diskusi yang dilakukan murid-murid yang belum pernah bertemu ini.

Permasalahan pembelajaran daring ini bukan hanya terjadi di SMA Negeri 2 Semarang. Hampir semua sekolah memiliki persoalan.

Di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah, seorang siswa Madrasah Tsanawiyah bahkan harus bekerja keras menjadi kuli bangunan. Hasil pekerjaannya ditabung dan digunakan untuk membeli HP agar bisa mengikuti pembelajaran daring.

Catur Feriyanto, nama siswa itu sehari-hari tinggal bersama kakaknya. Ia merasa kesulitan mengerjakan tugas sekolah karena tak memiliki HP. Ia harus menunggu ada pinjaman HP sehingga selalu terlambat mengumpulkan tugas sekolah.

Catur adalah siswa kelas 7 MTs Ya Robi, Grobogan. Di Desa Karangrejo, Kecamatan Grobogan, Catur tinggal bersama dua saudaranya dan kedua orangtuanya yang bekerja sebagai buruh tani.

“Tidak punya HP tidak bisa belajar, jadi kerja biar bisa beli HP,” kata Catur seperti ditulis Liputan6.com, Minggu (9/8/2020).

Sebagai kuli bangunan, Catur bertugas mengaduk semen dan pasir. Ia juga mengangkat genting. Ia sendiri mengaku tidak terpaksa menjalani itu. ginkan.

“Tidak apa-apa. Biar bisa beli HP,” kata Catur.

Biasanya, ia mengerjakan tugas sekolah setelah kakaknya pulang kerja dan meminjam HP milik kakaknya itu.

Marno mencaritakan, awalnya Catur ingin kerja karena ingin punya ponsel.

“Ya saya suruh kerja di sini. Kerjaannya sehari hari bagus cakep, enggak males-malesan saya kasih kerja kemampuannya dia kerja yang berat kerja yang keras itu saya tidak boleh. Sekitar itu saja sehari ya saya kasih Rp50 ribu,” katanya.

Kisah lain datang dari  satu SMK swasta di Semarang. Mawar (samaran) adalah seorang siswi yang merasa pandemi ini mengubah kehidupan sekolahnya. Dia yang biasanya bersenang-senang dengan temannya di sekolah, terhalang karena corona. Bahkan tidak jarang temannya kehabisan kuota, lalu dimarahi gurunya.

“Maaf bu, kuota saya tinggal sedikit tidak cukup kalau untuk vicon,” aku temannya kepada sang guru.

Selain itu hubungan dengan keluarganya semakin menjauh karena dia harus sering minta hotspot seluler atau tethering.

“Kemarin aku dimarahi ibuku, katanya nggak mau usaha beli kuota sendiri, padahal dikasih uang sepeser pun nggak,” katanya ketika ditanya mengenai masalah teknis.

Disebutkan juga bahwa internal storage hpnya penuh dengan gambar dan video pelajaran.

Benarkah pandemi ini benar-benar mematikan rasa kemanusiaan?

Sementara itu, dalam laman https://www.kemdikbud.go.id, disebutkan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus memperbesar dukungan mitra swasta. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengapresiasi dukungan operator telekomunikasi yang telah memfasilitasi kegiatan belajar-mengajar daring (dalam jaringan) dengan akses internet gratis kepada pelajar, guru, dan dosen.

“Subsidi data yang diberikan operator telekomunikasi sangat membantu,” kata Nadiem Makariem, Kamis (26/03/2020).

Mendikbud mengakui tidak semua daerah punya akses smartphone ataupun koneksi internet yang baik. Namun itu adalah sebuah tantangan.

“Saya yakin dengan gotong royong antara semua pihak, kita dapat melalui masa sulit ini bersama-sama,” kata Nadiem.

Nyatanya dengan adanya pandemi ini, banyak anak yang bisa menemukan solusi saat mendapatkan masalah. Banyak juga sekumpulan orang yang semakin didekatkan karena permasalahan serupa.

Berbasis modal sosial solidaritas yang menjadi kebudayaan, permasalahan tersebut bisa ditemukan solusinya.

Inilah yang terjadi, pembelajaran daring diharapkan bisa menjadi model pembelajaran merdeka. Anak bisa menemukan sebuah permasalahan di sekitarnya dan bisa pula menemukan solusinya sendiri.

Contoh yang terjadi di SMA Negeri 2 Semarang menunjukkan bahwa pembelajaran daring menyisakan sejumlah masalah. Berbasis modal sosial solidaritas yang menjadi kebudayaan, permasalahan tersebut bisa ditemukan solusinya.

Namun, siswa tetap membutuhkan tatap muka, agar bisa terjalin pertemanan yang lebih akrab. Modal saling menghormati dan saling membantu sudah ada, tinggal menguatkan dengan pembelajaran tatap muka. [][][]

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Beri Komentar